Jadwal UAS 2012-2013

Bagi Mahasiswa yang ingin mendownload Jadwal UAS Tahun Akademik 2012-2013 silahkan Klik Disini

Senin, 08 April 2013

PELAKSANAAN UTS AKAN DILAKSANAKAN PADA HARI SENIN TANGGAL 16 APRIL 2013.

PENDAFTARAN  DIMULAI PADA HARI SENIN 1 APRIL 2013 SAMPAI DENGAN HARI RABU TANGGAL 10 APRIL 2013.

PENGAMBILAN KARTU UJIAN DIMULAI TANGGAL 11 APRIL 2013.

PERSYARATAN UTS LUNAS UNTUK SEMUA PEMBAYARAN PADA SEMESTER GENAP.

UNDUh JADWAL UTS DISINI

Kamis, 26 April 2012

PERJANJIAN (KLAUSULA) BAKU MENJERAT KONSUMEN

Afrida Nasution, S.H., M.H.

Pendahuluan
Perjanjian dengan klausula baku atau Perjanjian Baku diistilahkan secara beragam dalam bahasa Inggeris dengan standardized contract, standard contract atau contract of adhesion. Pada awal dimulainya sistem perjanjian, kebebasan berkontrak di antara pihak yang berkedudukan seimbang merupakan unsur yang amat penting. Namun berhubung aspek-aspek perekonomian semakin berkembang, para pihak mencari format yang lebih praktis. Salah satu pihak menyiapkan syarat-syarat yang sudah distandarkan pada suatu format perjanjian yang telah dicetak, berupa formulir untuk kemudian diberikan kepada pihak lainnya untuk disetujui. Inilah yang dimaksudkan dengan perjanjian standar atau perjanjian baku.

Dengan cara yang praktis ini, pihak pemberi kontrak standar sering kali menggunakan kesempatan untuk membuat rumusan yang dibakukan itu lebih menguntungkan pihaknya dan bahkan mengambil kesempatan di kala lawan perjanjian tidak berkesempatan membaca isinya secara detil atau tidak terlalu memperhatikan isi perjanjian itu.

Dalam konteks hubungan pelaku usaha – konsumen, maka kontrak standar umumnya disediakan oleh produsen atau pelaku usaha. Hal ini sejalan dengan kesimpulan yang dibuat oleh Kessler bahwa perdagangan modern ditandai dengan kontrak standar yang berlaku secara massal, perbedaan posisi tawar antara konsumen dan perusahaan, sehingga konsekuensinya konsumen memiliki kemampuan yang terbatas untuk menentukan isi dari kontrak-kontrak yang dibuat oleh produsen.

Pengertian klausula baku terdapat dalam pasal 1 butir 10 yang menyatakan sebagai berikut :
Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Ketentuan Pencantuman Klausula Baku
Pasal 18
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat dan/atau mencantumkan kalusula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada palaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemenfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang mengungkapkannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan palaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.

Penjelasan
Ayat (1)
“Larangan ini dimaksudkan untuk menempaktan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak”
Apabila kita mencermati substansi Pasal 18 ayat (1), yaitu larangan membuat dan atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau pernjanjian yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (huruf a), seharusnya larangan tersebut dibatasi hanya untuk jangka waktu 4 (empat) tahun sesuai ketentuan Pasal 27 huruf e UUPK. Pasal ini menentukan pelaku usaha yang pemproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Oleh karena itu ketentuan ini berlebihan, karena sama sekali menurut kemungkinan bagi pelaku usaha untuk lepas dari tanggung jawab dengan cara mencantumkannya dalam klausula baku seperti itu.

Menyangkut larangan mencantumkan klausula baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen sebagaimana tersebut dalam Pasal 18 huruf b, sebaiknya ada batas waktu yang wajar. Hal ini merupakan pasangan dari larangan klasula baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen (huruf c). Jadi pelaku usaha dilarang untuk tidak menerima kembali barang yang sudah dijualnya dan tidak mengembalikan uang yang telah diterimanya sebagai pembayaran atas barang tersebut, tetapi tentu saja jika pengembalian barang tersebut dengan alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum.

Larangan dalam huruf d dari Pasal 18 ayat (1) sudah tepat. Klausula baku yang berisikan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang dibeli secara angsuran adalah tidak adil. Disamping itu dapat dikualifikasi sebagai penyalahgunaan keadaan konsumen, demikian juga ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf f dan huruf h.

Ketentuan larangan membuat klausula baku bagi pelaku usaha yang tersebut dalam huruf e dari Pasal 18 ayat (1), tampak perlu pula direvisi. Larangan bagi pelaku usaha membuat klausula baku dalam huruf e seharusnya tidak hanya berkenaan dengan hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen, tetapi juga perihal berkurangnya kegunaan barang atau jasa. Sehingga bunyi lengkapnya larangan tersebut yaitu, “mengatur perihal pembuktian atas hilangnya dan berkurangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen”. Apabila larangan klausula baku terbatas hanya pada perihal hilangnya kegunaan barang atau jasa, maka pelaku usaha dapat memanfaatkan kelemahan aturan yang ada dengan menunjuk pada persoalan berkurangnya keguanaan barang atau jasa di dalam suatu klausula baku.

Khusus menyangkut larangan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf g dapat dimengerti bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen, akan tetapi dengan ketentuan ini banyak pelaku usaha “merasa” dirugikan, terutama pihak perbankan.

Berkenaan dengan hal tersebut, ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf g perlu ditelaah kembali, mengingat perlindungan konsumen yang dimaksud dalam undang-undang ini tidak harus berpihak pada kepentingan konsumen yang merugikan kepentingan pelaku usaha. Sesuai asas keseimbangan dalam hukum perlindungan konsumen, seharusnya kepentingan semua pihak harus dilindungi, termasuk kepentingan pemerintah dalam pembangunan nasional dan harus mendapat porsi yang seimbang.

Berkenaan dengan hal tersebut, Ahmadi Miru mengatakan bahwa, praktek pembuatan klausula baku yang sekarang bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf g tersebut sudah berlangsung sejak lama, sehingga ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf g tersebut tentu saja dimaksudkan untuk melarang praktek pembuatan klausula baku semacam itu. Hanya saja, jika tidak ada kemungkinan pengecualian larangan tersebut, dapat dipastikan bahwa penjual jasa tertentu, terutama bank tidak akan mematuhi ketentuan tersebut atau kalaupun bank mematuhinya, maka dalam kondisi tertentu bank tersebut akan bankrut.

Oleh karena itu menurut Ahmadi Miru, jika pelaku usaha terutama bank dilarang mencantumkan klausula baku sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf g tersebut, maka seharusnya pemerintah juga akan memberikan jaminan-jaminan tertentu kepada bank bahwa pemerintah tidak akan mengeluarkan kebijaksanaan yang merugikan bank tersebut karena mematuhi ketentuan Pasal 18 ayat (1) g UUPK. Sebagai contoh, dalam hal Bank Indonesia membebankan bunga 12% per tahun kepada bank, maka kalau bank yang menyalurkan kredit kepada konsumen dilarang mengubah secara sepihak bunga yang dibebankan kepada konsumen, maka Bank Indonesia pun harus menjamin bahwa pihaknya tidak akan mengubah suku bunga yang sebagaimana terjadi pada awal-awal masa krisis ekonomi, sedangkan jika hanya kenaikan-kenaikan kecil dapat saja dianggap sudah dapat diperhitungkan oleh pihak bank berdasarkan keahliannya (sikap profesionalnya) dalam mengelola bank

Sedikit berbeda dengan pendapat di atas, Sutarman Yodo mengatakan bahwa apabila klausula baku yang menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan baru, tambahan, dan/atau sejenisnya dalam masa konsumen memanfaatkan jasa, adalah untuk menghindari kerugian sebagai akibat kekeluruan manajeman pelaku usaha (bank) yang bersangkutan, maka larangan klausula baku seperti ini dianggap memenuhi asas keadilan atau asas keseimbangan

Adanya perubahan tingkat suku bunga dari pemerintah, pihak perbankan tidak dapat menjadikan alasan untuk membebankan risiko kepada nasabah sebagai konsumen. Hal ini didasarkan karena risiko kerugian seperti ini dikualifikasi sebagai risiko akibat kekeliruan dalam manajemen usaha yang dikelola, teristimewa dengan praktek selama ini, belum adanya perubahan tingkat suku bunga kredit yang menguntungkan nasabah dari pemerintah, ikut mengubah tingkat suku bunga kredit nasabah yang sementara berjalan. Dalam kasus perubahan tingkat suku bunga yang selalu berubah dari pemerintah, bahwa seharusnya bank secara profesional sudah dapat memprediksikan berbagai kemungkinan yang terjadi berdasarkan pengalamannya. Demikian pula, bahwa sulit diterima itikad baik pemerintah, apabila perubahan tingkat suku bungan tersebut dimaksudkan untuk membebani konsumen.

Sementara itikad baik pemerintah yang dimaksud, sehubungan dengan kedudukannya sebagai lembaga eksekutif yang mewakili negara dalam mensejahterakan rakyatnya sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945

Indonesia sebagai negara berkembang membutuhkan pembangunan terutama bidang ekonomi, ditambah jumlah penduduk urutan ketiga setelah Cina dan India, menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki pangsa pasar cukup menggiurkan palaku usaha termasuk pelaku usaha asing yang berkedudukan dan menjalankan usaha di Indonesia.

Jika memperhatikan Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK dapat diketahui bahwa yang mendasari pembuat undang-undang adalah upaya pemberdayaan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam kontrak dengan pelaku usaha. Walaupun demikian Pasal 18 ayat (1) huruf g juga sebagai upaya yang bertujuan untuk mengarahkan kegiatan perbankan secara lebih profesional dalam manajemen usaha, sehingga lebih mampu bersaing terutama menghadapi jasa perbankan asing di era globalisasi (pasar bebas), yang dengan sendirinya juga untuk kepentingan pemerintah dalam pembangunan secara berencana.

Dalam era globalisasi bank-bank asing akan bersaing dengan bank-bank nasional, termasuk dengan sesamanya untuk merebut pangsa pasar yang menggiurkan di Indonesia. Bank-bank asing yang ada di Indonesia akan berusaha memberikan jasa/pelayanan yang sebaik-baiknya, termasuk dalam hal ini bonafiditas usaha yang dijalankan dalam berhubungan dengan nasabahnya sebagai konsumen. Sudah jelas dalam persaingan ini, hanya bank-bank nasional yang professional dan bonafid dalam pengelolaan usaha yang mampu merebut pangsa pasar, sedangkan bank-bank yang kurang professional dan tidak bonafid termasuk bank asing akan ditinggalkan oleh pasar.

Walaupun antara kedua penulis memiliki perbedaan pendapat, namun keduanya sepakat menerima prubahan suku bunga jika hal itu dimaksudkan sebagai upaya mengurangi risiko akibat krisis moneter dan/ atau ekonomi sebagaimana terjadi mulai pertengahan tahun 1997. dengan demikian ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf g perlu dipertimbangkan lagi.

Pengalaman di era krisis moneter, Pemerintah (Bank Indonesia) terpaksa harus mengubah tingkat suku bunga menjadi demikian tinggi, sehingga bank-bank umum terpaksa juga mengikuti perubahan tingkat suku bunga tersebut. Namun, untuk persoalan yang satu ini masih kurang adil apabila risiko perubahan itu seluruhnya dibebenkan kepada konsumen. Berapa persen risiko perubahan tersebut hendaknya menjadi tanggungan bersama antara bank di satu pihak dan nasabah sebagai konsumen di pihak lain, dan risiko kerugian perubahan tingkat suku bunga dari pemerintah harus dihitung berdasarkan sisa kredit yang belum terlunasi, bukan plafon kredit yang disepakati di awal perjanjian.

Konsep berpikir seperti ini, semata-mata didasarkan karena alasan krisis yang menyebabkan terjadinya perubahan suku bunga yang demikian tinggi ditetapkan Pemerintah, dengan harapan agar pelaku usaha (pihak bank) tetap dapat menjalankan usahanya. Syarat-syarat ini menuntut semua pihak terutama Pemerintah (Bank Indonesia) untuk menentukan criteria “krisis” dan criteria “perubahan suku bunga tinggi”. Kriteria ini sangat penting untuk membedakan risiko kerugian akibat perubahan tingkat suku bunga, dan sebagai akibat kekeliruan manajemen yang dilakukan oleh pihak perbankan sendiri.

Klausula Eksonerasi
Rijken mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum.

Klausula eksonerasi yang biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausula tambahan atas unsure esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang sangat merugikan konsumen yang umumnya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen, dengan adanya klausula tersebut manjadi beban konsumen.

Apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang, maka pihak lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal demikian, pihak yang memiliki posisi lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausula-klausula tertentu dalam perjanjian baku, sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat/ dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat.

Oleh karena yang merancang format dan isi perjanjian adalah pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat, maka dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat klausula-klausula yang menguntungkan baginya, atau meringankan/menghapuskan beban-beban/kewajiban-kewajiban tertentu yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya.

Penerapan klausula-klausula tertentu yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat yang mengakibatkan sangat merugikan pihak lemah, biasa dikenal dengan penyalahgunaan keadaan.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku dengan klausula eksonerasi yang meniadakan atau membatasi kewajiban salah satu pihak (kreditur) untuk membayar ganti kerugian kepada debitur, memiliki cirri sebagai berikut:
a. isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat daripada kreditur;
b. debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu;
c. terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian tersebut;
d. bentuknya tertulis;
e. dipersiapkan terlebih dahulu secara missal atau individual.

Pendapat Marian Darus Badrulzaman di atas memposisikan kreditur selalu dalam posisi yang lebih kuat, padahal dalam kenyataan, kreditur tidak selamanya memiliki posisi yang lebih kuat daripada debitur, karena dalam kasus tertentu posisi debitur justru lebih kuat daripada kreditur, dan justru debiturlah yang merancang perjanjian baku. Dengan demikian pendapat diatas tidak selamanya dapat dibenarkan.

Selain itu, salah satu ciri perjanjian baku yang dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman, yaitu bahwa debitur sama sekali tidak menentukan isi perjanjian itu, juga tidak dapat dibenarkan, karena perjanjian baku pada umumnya dibuat dengan tetap memungkinkan pihak lain (bukan pihak yang merancang perjanjian baku) untuk menentukan unsur esensial dari perjanjian, sedangkan klausula yang pada umumnya tidak dapat ditawar adalah klausula yang merupakan unsur aksidentalia dalam perjanjian.

Berdasarkan alasan di atas, maka perjanjian baku yang mengandung klausula eksonerasi cirinya, yaitu:
a. pada umumnya isinya ditetapkan oleh pihak yang posisinya lebih kuat;
b. pihak lemah pada umumnya tidak ikut menentukan isi perjanjian yang merupakan unsur aksidentalia dari perjanjian;
c. terdorong oleh kebutuhannya, pihak lemah terpaksa menerima perjanjian tersebut;
d. bentuknya tertulis;
e. dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.

Oleh karena perjanjian baku ini merupakan suatu bentuk perjanjian yang secara teoritis masih mengundang perdebatan, khususnya dalam kaitan dengan asas kebebasan berkontrak dan syarat sahnya perjanjian, maka di bawah ini juga akan dikemukakan berbagai pendapat tentang perjanjian baku.

Di dalam perjanjian baku, kebebasan untuk melakukan kontrak serta pemberian kesepakatan terhadap kontrak tersebut tidak dilakukan sebebas dengan perjanjian yang dilakukan secara langsung dengan melibatkan para pihak dalam menegosiasikan klausula perjanjian, maka terdapat berbagai pendapat mengenai kedudukan perjanjian baku dalam hukum perjanjian. Adapun pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut:

Sluijter mengatakan bahwa perjanjian baku bukan merupakan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgever). Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah undang-undang, bukan perjanjian.

Pitlo menggolongkan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwang contract), yang walaupun secara teoritis yuridis perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun kenyataannya kebutuhan masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum.

Stein mencoba memecahkan masalah ini dengan mengemukakan pendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.

Asser Rutten mengatakan bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian, bertanggung gugat pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membutuhkan tandatangan pada fomulir perjanjian baku, tanda tangan itu akan membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya.

Hondius dalam disertasinya mempertahankan bahwa perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan (gebruik) yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, perjanjian baku tetap merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul di kemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung gugat berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang berdasarkan Pasal 18 UUPK.

Walaupun demikian, harus pula diakui bahwa perjanjian baku/perjanjian yang mengandung klausula baku ini sangat dibutuhkan dalam dunia perdagangan yang semakin maji dewasa ini, terutama karena dengan penggunaan perjanjian baku tersebut berarti para pihak dapat mempersingkat waktu bernegosiasi. Hal ini sangat berguna jika dikaitkan dengan prinsip bahwa “waktu adalah uang”.

Mengingat perjanjian baku, tetap mengikat para pihak dan pada umumnya beban tanggung gugat para pihak adalah berat sebelah, maka langkah yang harus dilakukan bukan melarang atau membatasi penggunaan perjanjian baku melainkan melarang atau memebatasi penggunaan klausula-klausula tertentu dalam perjanjian baku tersebut.

Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam perjanjian baku, adalah pencantuman klausula eksonerasi harus:
a. Menonjol dan Jelas
Pengecualian terhadap tanggung gugat tidak dapat dibenarkan jika penulisannya tidak menonjol dan tidak jelas. Dengan demikian, maka penulisan pengecualian tanggung gugat yang ditulis di belakang suatu surat perjanjian atau yang ditulis dengan cetakan kecil, kemungkinan tidak efektif karena penulisan klausula tidak menonjol.
Agar suatu penulisan klausula dapat digolongkan menonjol, maka penulisannya dilakukan sedemikian rupa sehingga orang yang berkepentingan akan memperhatikannya, misalnya dicetak dalam huruf besar atau dicetak dengan tulisan dan warna yang kontras, dan tentu saja hal ini dimuat dalam bagian penting dari kontrak tersebut.
b. Disampaikan Tepat Waktu
Pengecualian tanggung gugat hanya efektif jika disampaikan tepat waktu. Dengan demikian, setiap pengecualian tanggung gugat harus disampaikan pada saat penutupan perjanjian, sehingga merupakan bagian dari kontrak. Jadi bukan disampaikan setelah perjanjian jual beli terjadi.
c. Pemenuhan Tujuan-tujuan Penting
Pembatasan tanggung gugat tidak dapat dilakukan jika pembatasan tersebut tidak akan memenuhi tujuan penting dari suatu jaminan, misalnya tanggung gugat terhadap cacat yang tersembunyi tidak dapat dibatasi dalam batas waktu tertentu, jika cacat tersembunyi tersebut tidak ditemukan dalam periode tersebut.
d. Adil
Jika pengadilan menemukan kontrak atau klausula kontrak yang tidak adil, maka pengadilan dapat menolak untuk melaksanakannya, atau melaksanakannya tanpa klausula yang tidak adil.
e. Penyalahgunaan Keadaan
Penggunaan perjanjian baku dalam perjanjian antara konsumen dengan produsen ini kadang atau bahkan sering terjadi penyalahgunaan keadaan atau yang dalam istilah Belanda dikenal dengan “misbruik van omstadigheden”. Penyalahgunaan keadaan terjadi apabila orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berpikir panjang, keadaan jiwa yang abnormal atau tidak berpengalaman tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, meskipun ia tahu atau seharusnya mengerti bahwa sebenarnya ia harus mencegahnya.

Penyalahgunaan ini dapat terjadi jika suatu perjanjian lahir karena adanya keunggulan salah satu pihak, baik keunggulan ekonomi, keunggulan psikologi maupun keunggulan lainnya. Walaupun demikian, secara umum hanya dikenal dua kelompok penyalahgunaan keadaan. Oleh karena itu, secara garis besar penyalahgunaan keadaan dikelompokkan dalam dua kelompok:
(a) penyalahgunaan keadaan karena keunggulan ekonomi dari satu pihak terhadap pihak lain;
(b) penyalahgunaan keadaan karena keunggulan psikologi dari satu pihak terhadap pihak lainnya.

Di antara dua penyalahgunaan di atas, penyalahgunaan keunggulan ekonomi lebih banyak menghasilkan putusan hakim daripada penyalahgunaan keadaan karena keunggulan psikologis. Penyalahgunaan karena keunggulan ekonomi harus memenuhi syarat utama berikut ini.
a. satu pihak dalam perjanjian lebih unggul dalam bidang ekonomi daripada pihak lainnya; sehingga
b. pihak lain terdesak melakukan perjanjian yang bersangkutan.

Dengan demikian, ada keadaan terdesak dan tidak ada alternative lain bagi pihak yang lemah dari segi ekonomi, dan dalam keadaan itu, mereka tidak memungkinkan lagi mengadakan perundingan.

Berbeda dari syarat di atas, penyalahgunaan keadaan karena keunggulan psikologis, syaratnya adalah:
a. adanya ketergantungan dari pihak lemah yang disalahgunakan oleh pihak yang mempunyai keunggulan psikologi;
b. adanya kesukaan psikologi yang luar biasa antara pihak yang satu dengan pihak lain.

Pada penyalahgunaan keadaan karena keunggulan psikologi ini, keunggulan yang dimiliki salah satu pihak disalahgunakan sehingga pihak lain melakukan tindakan hukum yang tidak bijaksana dan malahan merugikan dirinya.

Kasus yang sebenarnya merupakan penyalahgunaan keadaan karena keunggulan psikologi tersebut bulum banyak diputuskan oleh hakim di Indonesia, walaupun secara mudah diasumsikan banyak terjadi di Indonesia, namun belum ada yang diputuskan sebagai penyalahgunaan keadaan. Kemungkinan diputuskan sebagai suatu yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik dalam masyarakat, sehingga putusan hakim menghasilkan pembatalan perjanjian karana tidak ada sebab yang halal (Pasal 1337 BW), yang berarti perjanjian dianggap tidak pernah ada/batal demi hukum (Pasal 1335 BW).

Di Inggris penanggulangan masalah kontraktual dilakukan melalui putusan-putusan hakim dan ketentuan perundang-undangan. Bahkan Law Commision dalam saran mereka untuk peninjauan masalah standard form contract mengemukakan beberapa factor yang harus dipertimbangkan dalam penguji syarat-syarat baku tersebut, antara lain:

a. kemampuan daya saing (bargaining power) para pihak,
b. apakah konsumen ditawarkan syarat-syarat lain dengan tingkat harga yang lebih tinggi, tapi tanpa syarat eksonerasi dalam kontrak pembeliannya;
c. apakah pelanggaran kontrak dengan syarat pengecualian tanggung jawab, disebabkan oleh hal atau peristiwa di luar kuasa pihak (konsumen) yang melakukannya.

Faktor- faktor tersebut di atas, perlu dipertimbangkan untuk menentukan apakah syarat-syarat kepatutan (reasonableness requirement) memang telah dipenuhi atau tidak, sehingga syarat-syarat baku tertentu dapat berlaku atau harus dibatalkan.

Di Amerika Serikat, transaksi-transaksi tertentu yang dilakukan dengan perjanjian baku, tidak diperbolehkan memuat syarat berikut:
a. persetujuan pembeli untuk tidak melakukan gugatan terhadap pengusaha;
b. pembebasan pembeli untuk menuntut penjual mengenai setiap perbuatan penagihan atau pemilikan kembali (barang yang dijual) yang dilakukan secara tidak sah;
c. pemberian kuasa kepada penjual atau orang lain untuk kepentingannya, untuk menagih pembayaran atau pemilikan kembali barang tertentu;
d. pembebasan penjual dari setiap tuntutan ganti kerugian pembeli terhadap penjual.

Sedangkan di Indonesia, sejak sebelum kemerdekaan, telah dilakukan upaya-upaya untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dari penyalahgunaan keadaan. Hal ini tampak dengan adanya pembatasan terhadap penyalahgunaan keadaan yang dapat merugikan konsumen melalui Woeker Ordonantie tahun 1338. Berdasarkan Pasal 2 Ordonansi tersebut, para pihak yang dirugikan atau membatalkan perjanjian dalam hal hakim menemukan adanya ketidakseimbangan yang mencolok antara kewajiban-kewajiban para pihak. Untuk melaksanakan kewanangan hakim tersebut, maka disyaratkan bahwa:
a. pihak yang dirugikan mengajukan permohonan untuk itu;
b. pihak yang dirugikan tidak secara penuh menyadari segala akibat perjanjian yang telah diadakannya; dan
c. pihak yang dirugikan ternyata bertindak ceroboh, tanpa pengalaman atau dalam keadaan darurat.

Upaya perlindungan konsumen di atas tentu sangatlah terbatas, dan tidak mungkin memberikan perlindungan kepada konsumen secara keseluruhan. Akan tetapi upaya tersebut dapat dijadikan salah satu upaya untuk membatasi kerugian akibat penggunaan klausula eksonerasi dalam perjanjian.

Setelah lahirnya UUPK, maka perlindungan konsumen dari penyalahgunaan keadaan semakin baik karena berdasarkan Pasal 18 UUPK, dilarang memuat klausula-klausula baku tertentu dalam perjanjian antara konsumen dengan produsen.

Pembatasan atau larangan untuk memuat klausula-klausula baku tertentu dalam perjanjian tersebut, dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat, yang pada akhirnya akan merugikan konsumen.

Daftar Bacaan :

1. Ahmadi Miru, Larangan Penggunaan Kalusula Baku Tertentu dalam Perjanjian antara Konsumen dan Pelaku Usaha, Jurnal Hukum No. 17 vol. 8 Juni 2001, UII, Yogyakarta.
2. Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
3. Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2000.
4. Az Nasution, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam Kontrak Pembelian Rumah Murah, Makalah, Disampaikan dalam Seminar Sehari tentang Pertanggungan Jawab Produk dan Kontrak Bangunan, Jakarta, 1988.
5. Jerry J. Phillips, Products Liability. St. Paul Minnesota: West Publishing Company. 1993.
6. Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994.
7. Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994.
8. Sutarman Yodo, Hakikat Pasal 18 ayat (1) Huruf g UUPK dalam menuju Era Globalisasi, Makalah Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makasar, Desember 2001.

KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM MENJERAT PELAKU PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Oleh : R. Bagus Irawan S.Sos
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Hukum pidana pada hakekatnya adalah merupakan bagian integral untuk melindungi masyarakat (social defence) dan untuk mencapai kesejahteraan (social welfare). Dikatakan bahwa tujuan akhir dari kebijakan hukum pidana adalah memberikan perlindungan terhadap masyarakat yang salah satu caranya adalah dengan cara bagaimana pengaturan dan bentuk delik kesusilaan dalam KUHP dan UU Porrnografi yang dapat diharapkan dapat mencapai tujuan akhir dari kebijakan hukum pidana.
Pengaturan delik kesusilaan menurut KUHP pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan UU Pornografi hanya mengkaji ulang untuk merevisi dan lebih memfokuskan pada perbuatan cabul, hal ini karena semakin maraknya pelangaran “kesusilaan” sebagai akibat menjamurnya tampilan “porno” yang dapat menjadi pemicu terjadinya tindak pidana kesusilaan.
Berangkat dari sangat mungkinnya tampilan yang porno sebagai pemacu dan pemicu maraknya pelanggaran kesusilaan telah menjadi sebuah argumen dasar dan alasan pembenar bagi sementara pihak untuk menempatkan “pornografi” sebagai perbuatan pidana sehingga pelakunya dapat dipidana.
Di dalam KUHP tidak dikenal istilah “pornogarafi” KUHP hanya memperkenalkan istilah “Kejahatan terhadap kesusilaan” dan “pelanggaran kesusilaan” Kejahatan kesusilaan pengaturannya terdapat dalam pasal 283 sampai dengan Pasal 297.
Diketahui bahwa dalam mengindikasikan larangan-larangan dilakukannya perbuatan-perbuatan yang merusak kesusilaan di hadapan umum atau merusak kesusilaan di muka orang lain, yang berarti KUHP juga melarang “pornografi”
Sehubungan upaya kriminalisai pornografi, Barda Nawawi Arief mengutip hasil simposium pembaharuan Hukum Pidana Nasional Tahun 1980, hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Apakah perbuatan tersebut tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan dan dapat merugikan , mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban
2. Apakah biaya kriminalisasi seimbang dengan hasil yang akan dicapai. Artinya cost pembuatan undang-undang pengawasan dan penegakan hukum serta beban yang dipikul oleh korban, pelaku kejahatan itu sendiri seimbang dengan situasi tertib hukum yang dicapai.
3. apakah akan menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliki.
4. apakah perbuatan tersebut menghambat atau menghalang-halangi cita-cita bangsa sehingga berbahaya bagi keseluruhan masyarakat.
Asumsi yang dikedepankan setelah pemaparan diatas adalah bahwa tampilan-tampilan yang seronok , gambar-gambar yang mengeksploitasi aurat perempuan secara komersial, ucapan-ucapan yang berbau porno, tulisan-tulisan yang mengarah kepada seksualitas dan hal –hal lain yang merangsang dan dapat menjadi pemicu dan pemacu pikiran-pikiran yang bermuara pada sex, maka perbuatan tersebut dapat dipidana tanpa harus menggunakan Undang-Undang Pornografi karena undang-Undang tersebut selain masih penuh kontraversial juga terlampau buruk dan tidak masuk akal karena isi dari undang-undang itu potensial medeskriditkan tubuh dan seksualitas wanita dan menghapuskan pluralitas budaya Indonesia .

B. Identifikasi Masalah
Sehubungan dengan latar belakang pemilihan judul diatas, maka permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Apa yang sesungguhnya yang dimaksud dengan pornografi ?
2. Bagaimana menjerat pelaku pornografi dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ?

II PEMBAHASAN
A . Definisi Pornografi.
Istilah pornografi dikenal dalam bahasa Yunani yaitu “ponografos” yang berasal dari kata “porne” dan “grafhein” . Tjipta Lesmana , mengartikan kata “porne” sebagai prostitute atau pelacuran dan “grafhein” sebagai “to write” to draw ; grafhe yang sama dengan writing, drawing, sehingga oleh beliau pornographies disamakan dengan writing about prostitutes yang diartikan sebagai tulisan atau menggambarkan tentang pelacur atau pelacuran.
Menurut Dosen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia tersebut, definisi porno akan mencakup segala karya manusia baik berupa cerita, gambar, film , tarian maupun lagu, yang diciptakan dengan maksud sengaja membakar nafsu birahi orang lain, sehingga merangsang syahwat serta dapat menimbulkan pikiran-pikiran kotor (purient interest).
Abas Alibasah memberikan batasan, bahwa pornogarfi merupakan produk visulaisasi sex dengan cara yang a susila, cabul dan tidak senonoh, jorok, melecehkan hukum dan martabat manusia, menabrak moral, dan ajaran agama dengan mempertontonkan aurat serta adat istiadat dan tradisi.
UU Pornografi Pasal 1 ayat 1 , mendefinisikan bahwa pornografi adalah gambar , sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang menurut kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Walaupun pembatasan tentang pornografi sebagaimana yang disampaikan oleh Akademisi (Tjipta Lesmana) dan seorang seniman (Abas Alibasyah) serta menurut UU Pornografi Pasal 1 ayat 1 belum mewakili kelompok akademisi dan kelompok seniman negeri ini, akan tetapi setidaknya dapat memberikan suatu pemikiran seorang seniman dan akademisi tentang definisi pornografi.
Melalui batasan tersebut diatas , kita dapat mengetahui titik temu untuk menemukan unsur-unsur pornografi yang akan memberikan kontribusi yang positif untuk menjawab apakah yang dimaksud pornografi. Dan apakah pornografi dapat diposisikan sebagai tindak pidana atau tidak.
Berangkat dari definisi tersebut, maka unsur-unsur pornografi mencakup :
1. Setiap pelaku dan hasil pelaku manusia yang dapat merangsang atau membangkitkan gairah nafsu seksual
2. dengan sengaja mempertontonkan kepada pihak lain atau masyarakat umum
3. Sehingga orang lain atau masyarakat umum tersebut berpikiran ke arah seksual.
Dari ketiga unsur tersebut dijabarkan adalah sebagai berikut :
Petama, setiap pelaku yang dapat merangsang nafsu seksual baik itu ucapan, gerakan, tampilan (pakaian) mencakup hasil cipta manusia yang dapat didengar dan dilihat , sehingga orang yang melihat dan mendengarnya terangsang nafsu seksualnya.
Kedua, Sengaja dipertontonkan kepada seseorang atau kepada masyarakat umum, harus ditafsirkan langsung atau tidak langsung mencakup penggunaan media, sehingga apa yang disebut sesuatu yang merangsang seksual tersebut dapat dilihat.
Ketiga, Unsur sehingga orang lain berpikiran kearah seksual harus diartikan menurut keumuman dan kepatutan. Artinya apabila masyarakat menganggap bahwa sebuah tampilan menurut penilaian umum dianggap merangsang nafsu seksual.
B. Kebijakan Kriminal dalam Menjerat Pelaku Pornografi dalam perspektif KUH Pidana
Kenyataan bahwa pikiran kita tentang hukum masih didominasi pemikiran-pemikiran yang ada pada saat abad ke-19.(sekarang sudah abad ke 21) Artinya kita masih berlindung pada legalitas formil. Kita masih senang membaca teks-teks yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa mengungkap suasana bathin mengapa teks-teks tersebut dibuat dan apa yang menjadi tujuan akhirnya. Pemikiran yang demikian juga melanda para penggagas kriminalisasi pornografi..
Pernyataan yang sering mengemuka adalah bahwa pornografi tidak dapat dihukum, karena tidak disebutkan dalam KUHP, atau perkataan lain yang menyatakan “pornografi” dapat dihukum, tetapi hukumannya sangat ringan. Untuk pernyataan yang kedua, argumentasinya sama dengan pemahaman hukum pada abad ke-19, yaitu karena undang-undang telah menyebutkan demikian.
Di dalam KUHP tidak ditemukan istilah pornografi KUH Pidana hanya mengenal istilah tulisan yang diketahui akan isinya atau gambar atau barang yang dikenalnya, melanggar kesusilaan . Pembatasan tersebut, jelas akan mempersulit kita dalam membuat definisi tentang gambar, atau tulisan, atau barang yang dianggap bertentangan dengan kesusilaan.
Dalam penjelasan UU Pornografi pun tidak ada penjelasan lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan “kecabulan” dan eksploitasi seksual”. Tak jelas juga siapa yang berhak mendefinisikannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Ayat 1 UU Pornografi. Hal lain yang tidak jelas dalam Pasal 14 yang berisi “Pembuatan, penyebarluasan, dan pengunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai; seni budaya, adat istiadat dan ritual tradisional. Dengan kata lain, menurut Undang-Undang Pornografi ini pakaian adat orang Papua adalah pornografi , tetapi ditolelir , karena merupakan adat istiadat . Selain kedua pasal tersebut, ada pasal-pasal lain yang kontroversial , karena dianggap bisa menghancurkan kebhinekaan budaya Indonesia.
Pembatasan tersebut jelas akan mempersulit dalam membuat definisi tentang gambar atau tulisan, atau barang yang dianggap bertentangan dengan kesusilaan, sebab susila untuk seseorang dapat berarti a – susila untuk orang lain dan sebaliknya. Pengertian susila maupun a-susila akan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan yang setiap saat dapat berubah..
Menurut pasal 282 KUHP , perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai kejahatan kesusilaan dan diancam hukuman antara sembilan bulan sampai satu tahun. Empat bulan hukuman penjara dengan denda sebanyak-banyaknya empat puluh lima ribu rupiah adalah : (1) Barangsiapa yang menyiarkan , mempertunjukan atau menempelkan dengan terang-terangan tulisan, gambar atau barang yang melanggar kesusilaan (2) Barangsiapa yang membuat, memasukan kedalam negeri atau mengirim langsung keluar negeri, menyediakan untuk disiarkan, mempertunjukan , atau menempelkan dengan terang-terangan tulisan atau gambar yang melanggar kesusilaan (3) Barangsiapa dengan terang-terangan atau menyiarkan suatu tulisan atau gambar, atau barang yang melanggar kesusilaan yang kemudian menawarkan dengan tidak diminta atau menunjukan bahwa yang demikian itu boleh di dapat.
Pasal 533 KUHP , menegaskan bahwa perbuatan-perbuatan yang diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya dua bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ribu rupiah yang selanjutnya disebut pelanggaran adalah : (1) Barangsiapa yang dengan terang-terangan memperlihatkan tulisan atau gambar atau barang yang dengan terlihatnya itu membangkitkan birahi anak muda, dan perbuatannya itu dilakukan di lalu lintas umum; (2) Barangsiapa yang dengan terang-terangan membacakan isi buku yang isinya membangkitkan birahi kaum muda, yang perbuatannya dilakukan dalam lalu lintas umum; (3) Barangsiapa yang menawarkan buku, gambar, atau barang yang dapat membangkitkan birahi anak muda yang kemudian ia menyatakan bahwa barang-barang tersebut dapat dibeli padanya; (4) Barang siapa yang menawarkan , meminjamkan, memberikan, atau menyerahkan buku, tulisan, gambar atau barang yang melanggar kesusilaan kepada anak yang berumur tujuh belas tahun.
Apabila kita simak kedua pasal tersebut di atas, ternyata pembuat undang-undang hanya memfokuskan kepada medianya untuk bertanggungjawab terhadap adanya pornografi, sementara sipelaku pornografi, sipembuat buku yang kesemuanya ini bertentangan dengan kesusilaan sama sekali tidak disinggung.
Untuk menjerat pelaku pornografi bukan sesuatu yang mudah, akan tetapi bukan tidak bisa. Tidak mudah, oleh karena KUH Pidana tidak mengatur hal yang demikian, semantara pada saat yang sama KUH Pidana menganut asas legalitas formal. Artinya undang-undang harus ada terlebih dahulu sebelum perbuatan. Pelaku yang menyuruh melakukan, yang ikut serta melakukan , yang membantu melakukan dan yang membujuk untuk melakukan dapat dijerat dengan KUH Pidana yang berarti mengenyampingkan pemberlakuan legalitas formal. Pengesampingan sebuah asas hukum pidana dapat dibenarkan dengan pertimbangan keadilan dan kepentingan yang mendesak demi keselamatan generasi muda.
Dalam kaitan dengan ‘kesakralan” sebuah asas dalam hukum pidana , Loebby Luqman. Guru Besar Hukum Pidana, Universitas Indonesia (UI) menyatakan : sebuah asas dapat dilangar, tidak dapat dipakai atau dapat disimpangi, apabila asas tersebut diterapkan akan menimbulkan ketidakadilan. Termasuk dalam pengertian asas hukum pidana adalah asas legalitas formal. . Konsep KUHP Nasional mengamanatkan, apabila terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan hukum, maka aspek keadilan hukum harus didahulukan.
Pertimbangan yang kedua yang dijadikan argumen bahwa semua pihak yang terlibat dalam pornografi dalam segala bentuknya dapat dijerat hukuman. Justru apabila kita berpikir yang sebaliknya, yang berarti mengedepankan “ kepastian hukum “ dengan mengesampingkan aspek keadilan , merupakan bentuk ketidak adilan. Tujuan akhir pemberlakuan hukum adalah dalam rangka menjamin rasa keadilan yang berdasarkan atas hukum , dan bukan semata-mata demi kepastian hukum yang didasarkan pada teks undang-undang. (mendewakan legalitas pformal)
Apabila pornografi telah menjadi pemicu dan pemacu semua pihak untuk angkat bicara, dalam hubungan dengan akibat yang ditimbulkannya, maka setiap penyebab harus di nilai sebagai sumbangsih adanya akibat. Termasuk didalamnya pornografi, yang memungkinkan menjadi penyebab maraknya pelecehan seksual dengan segala dimensinya.
Dalam kaitannya dengan hubungan antara sebab dengan akibat , telah diperkenalkan dengan beberapa teori sebagai berikut :
1. Teori Conditio Sine Qua Non
Sebagaimana dikemukakan oleh Von Buri. Dalam teori ini disebutkan bahwa semua syarat dianggap sebagai penyebab adanya kejadian atau akibat.
2. Teori Adequate dari Von Kries
Menurut teori ini, bahwa syarat yang menimbulkan akibat harus dinilai berdasarkan keumuman. Artinya suatu syarat menurut kacamata umum dapat menimbulkan akibat, maka syarat itulah dapat dikatagorikan sebagai penyebab.
3. Teori Relevantie dari Megzer
Menurut teori ini bahwa diantara beberapa syarat yang dapat menyebabkan akibat, dicari yang paling relevan.
Berpedoman pada beberapa teori sebab akibat sebagaimana tersebut diatas , jelas meungkinkan para pelaku dan kroninya dalam hubungan dengan munculnya pornografi dapat dipidana dan oleh karena itu perbuatan-perbuatan mereka dapat ditafsirkan telang melanggar kesusilaan di muka umum, sebagaimana di atur dalam pasal 281 KUH Pidana . Disamping pasal 281 dan pasal 533 KUH Pidana dapat diterapkan kepada pelaku pornografi pengaturannya mengacu Pasal 55 KUH Pidana.
Hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan oleh pencari keadilan dengan alasan tidak ada undang-undang, maupun kurang jelas undang-undangnya . Pertimbangannya bahwa hakim sebagai organ keadilan dianggap memahami hukum. . Pencari keadilan datang kepadanya untuk mohon keadilan . Apabila tidak ada hukum tertulis , ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus perkara berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan yang Maha Esa, dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan negara.
Mengadili semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung tindak pidana pornografi tidak bertentangan dengan Pancasila, karena tindakan mereka telah tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan aparat hukum yang melakukan tugas ini berarti telah mengamalkan sekaligus mengamankan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
C. Kasus Ariel, Luna dan Cut Tari : Menyingkap Tabir kelemahan Hukum Produk Manusia.
Al-Qur`an menyebut perzinaan sebagai perbuatan keji dan jalan keluar yang paling jelek (Al-Isra `32) . Selain mendatangkan kemurkaan Allah, perzinaan dapat menyebabkan - secara lahir dan gaib – keruntuhan penjagaan Allah dan datangnya bencana. Nabi Muhammad saw bersabda : “ Wahai Ali, dalam perzinaan ada enam bencana, tiga di dunia dan tiga diakherat . Adapun yang di dunia ialah hilangnya kehormatan, cepatnya kebinasaan, dan terputusnya rezeki. Adapun diakherat ialah pemeriksaan yang berat, kemurkaan Allah, dan kekal di neraka.(Al-Bihar 77:8). Ketika Ja”far Al-Shadiq ditanya tentang alasan mengapa diharamkan zina, dia menjawab, “ kareana kerusakan yang ditimbulkannya - yakni hilangnya hubungan waris, terputusnya nasab karena perempuan tidak tahu yang menghamilinya , dan anak tidak tahu siapa bapaknya, siapa keluarganya dan siapa kerabatnya (Al-Bihar 103:368).
Secara ilmiah perzinaan ialah “ hubungan seksual diluar pernikahan” . Ada tiga macam perzinaan : Hubungan seksual premarital, hubungan seksual ekstramarital dan prostitusi. Hubungan seksual premarital adalah “ perzinaan yang dilakukan anak-anak muda sebelum pernikahan” pada masyarakat kita gejala ini sudah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Kebebasan bergaul dan pengaruh media pornografis telah mendorong para remaja untuk melakukan hubungan premarital.
Dewasa ini menunjukan adanya peningkatan jumlah “kecelakaan” yakni hamil sebelum menikah dan hampir dalam setiap kasus yang paling banyak menderita adalah perempuan. Kehamilan yang tidak direncanakan telah mengakibatkan kerusakan pada emosi, pendidikan, hubungan keluarga, keadaan ekonomi, kesehatan dan keturunan.. Dan tidak jarang abortus provocatus menjadi pilihan. “ Dan ketika bayi-bayi yang dibunuh itu ditanya, karena dosa apa mereka harus dibunuh “ (QS 81:8) .
Adapun Pengertian zina menurut KUHP Pasal 284 adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Menurut hukum dikatakan “persetubuhan “ adalah bahwa apabila kelamin pria telah masuk ke dalam lubang anggota kemaluan wanita demikian rupa, sehingga akhirnya mengeluarkan air mani. Di Indonesia perkawinan baru dianggap sah, apabila memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam Surat Edaran Menteri Agama tanggal 3 Maret 1960 N0. F/II/3123.
Konsekwensi hukum bagi pelaku perzinaan Pasal 284 dipidana penjara selama-lamanya sembilan bulan “ Laki-laki yang beristri yang berzina sedang diketahuinya, bahwa pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku baginya” Pasal ini merupakan delik aduan, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan. Selama perkara itu belum diperiksa di muka sidang pengadilan, maka pengaduan itu senantiasa masih dapat ditarik kembali dan tuntutan harus ditujukan kepada laki-laki dan perempuan yang melakukan zina itu tidak dapat kepada salah satu pihak saja. Filosofi yang mendasari pengaturan semacam itu tercermin dalam ungkapan “biarkan hukum berhenti didepan kamar tidur “ yang lebih mengutamakan kebebasan, menonjolkan hak-hak individu dan kurang memperhatikan moralitas.
Menurut KUH Pidana , seseorang yang melakukan hubungan kelamin atau persetubuhan diluar pernikahan atas dasar suka sama suka pada prinsipnya tidak dipidana, kecuali terbukti ada perzinahan (salah satu pihak sudah kawin). Yang dipidana menurut KUH Pidana hanya apabila persetubuhan diluar nikah tersebut dilakukan secara paksa (perkosaan), terhadap yang pingsan, tidak berdaya atau terhadap anak dibawah umum 15 tahun.
Berdasarkan ketentuan demikian, maka menurut KUHP tidaklah merupakan tindak pidana dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Dua orang belum kawin yang melakukan persetubuhan, walaupun perbuatan itu dipandang bertentangan dengan atau menganggu perasaan moral masyarakat,
2. Seorang yang telah beristri menghamili seorang gadis (berarti telah melakukan perzinahan) tetapi istrinya tidak membuat pengaduan untuk menuntut.
3. seseorang melakukan hidup bersama dengan orang lain sebagai suami istri diluar perkawinan, padahal perbuatan itu tercela dan bertentangan dengan atau menganggu perasaan kesusilaan/moral masyarakat.
Saat ini Bangsa Indonesia sedang dihebohkan dengan beredarnya Video mesum yang mirip dengan Ariel, Luna Maya dan Cut tari., bahwa pemberitaan video mesum tersebut telah menenggelamkan kasus-kasus penting yang harus diselesaikan secepatnya oleh pemerintah. Seperti kasus Bank Century, rekening Abnormal Gayus yang melahirkan mafia hukum yang melibatkan ketiga lembaga penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman) .
Terlepas euvoria pemberitaan Video mesum terhadap kasus diatas, kasus Ariel, Luna dan Cut Tari, terkandung hikmah yang sangat besar jika dilihat dari sudut pandang nilai religius. Hal ini memberikan sebuah pembelajaran bahwa betapa lemahnya hukum produk manusia. Undang-undang yang akan menjerat, baik Ariel , Luna maupun Cut tari masih diperdebatkan, mulai dari pasal 281 KUH Pidana tentang pelanggaran kesusilaan, Pasal 27 UU Internet dan Transaksi Elektronik, hingga Undang-Undang Pornografi Pasal 4 dan Pasal 29 dengan ancaman penjara 12 tahun. Ketiga Undang-undang diatas sangat tidak jelas untuk menjerat pelaku pornografi . Lebih cenderung menjerat kepada pengedar dan si pelaku diposisikan sebagai korban. Sangat naif. Secara logika akal , ada pengedar ada pelaku.
Sejak awal UU Pornografi sudah cacat. Alih-alih mengurusi pornografi tetapi justru mengurus moral, cara berpakaian dan lainnya. Area pornografi seharusnya area hukum pidana (kriminal) jangan dicampur adukan norma hukum dan moral . Padahal UU yang gagal dalam yudicial review ini seharusnya fokus kepada kenapa ketelanjangan situs terus terjadi, kenapa video porno mudah diakses. Dari sini semakin terlihat , bahwa Undang-Undang Pornografi tidak bisa menggempur pornografi yang penuh eksploitasi dan kekerasaan..
Hal lain yang juga penting untuk dikritisi dari Undang-Undang Pornografi adalah megkukuhkan diskriminasi terhadap perempuan. Karena menggunakan kerangka moralitas , perempuan yang hampir selalu dijadikan simbol moralitas masyarakatnya, lantas akan menjadi target utama pelaksanaan peraturan tersebut. Undang-Undang Pornografi juga berpotensi melahirkan kelompok masyarakat “ menjunjung moral “ yang tidak menyelesaikan persoalan pornografi. Namun justru menimbulkan polemik, bahkan kekerasan atas nama partisipasi masyarakat. Selain itu definisi pornografi juga multi tafsir. Akhirnya membuat penerapan UU Pornografi berpotensi menghilangkan hak warga negara atas kesamaan dihadapan hukum dan atas kepastian hukum.
Belajar dari kasus ini, seharusnya kita sadar bahwa betapa lemahnya manusia.. Apakah masih mau mempertahankan ego dan kesombongan , masih menganggap bahwa produk hukum kita adalah satu-satunya cara yang dapat mengatur tatanan kehidupan manusia yang penuh problematik dan dinamis seiring dengan perkembangan zaman.
Islam dengan tegas melarang seseorang untuk memperlihatkan auratnya kepada pihak lain, baik yang sejenis maupun lawan jenis tanpa hak. Misalnya laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Islam juga melarang bersentuhan kulit sesama jenis yang berada dalam satu kain (H.R. Akhmad , Muslim, Abu Daud dan Tarmizi) .
Pertanyaannya adalah bagian tubuh yang mana yang dianggap sebagai aurat ?. Empat mazhab telah sepakat bahwa selain telapak tangan dan muka , termasuk punggung tangan bagi setiap wanita adalah aurat. Pemberlakuan aurat bagi wanita tersebut, mencakup aurat pada saat shalat dan diluar shalat.
Perihal mengenai bahaya memperlihatkan aurat, telah disikapi secara preventif oleh Al-Qur”an , yaitu berupa suatu keharusan bagi setiap orang untuk memelihara pandangan dan kemaluan , serta keharusan untuk tidak menempatkan perhiasaan selain yang dibenarkan untuk ditampakan (Al-Qur’an , An-Nuur: 30,31).
Munculnya gambar aurat wanita melalui media masa, tentunya tidak mungkin berdiri sendiri. Artinya, apabila kita dapat melihat gambar aurat wanita di media, maka didalamnya telah terjadi kerja sama antara pelaku, yang menyuruh melakukan, yang ikut serta melakukan dan membantu melakukan.
Dengan atau tanpa alasan apapun, kerja sama untuk mewujudkan hal-hal yang tidak baik, merupakan bentuk penginjakan hukum-hukum Allah SWT. Allah SWT hanya memerintahkan untuk bekerja sama dalam kebaikan dan melarang bekerja sama dalam keburukan (Al-Qur”an, Al-Maidah : 2)
Sungguh memprihatinkan , apabila sang pelaku (pemeran) membuka aurat orang yang beragama, sementara ia sendiri tidak mengetahui bahwa apa yang diperbuatnya bertentangan dengan agama. Keperihatinan yang sama dapat saja dialamatkan kepada semua pihak yang mengaku beragama, sementara ia pun tetap bersusah payah mencari definisi pornografi, padahal agama telah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya
Kemudian alangkah baiknya apabila kita sebagai kaum beragama menghentikan diri untuk memperbincangkan apa yang di sebut pornografi , yang selanjutnya dalam konteks Islam disebut aurat. Karena kesemuanya itu telah jelas .
Kepada pelaku, yang menyuruh melakukan maupun yang membantu terwujudnya pornografi., harus menyadari bahwa akibat yang negatif dari apa yang telah diperbuat, jelas tidak langsung menimpa pada pelaku . Akan tetapi, apabila setiap saat kita terpaksa menyaksikan “pelecehan seksual” dengan segala dimensinya sesungguhnya ikut andil sebagai penyebab.
Menurut Agama Islam, “ Bahwa barangsiapa memulai membuat contoh yang baik di dalam Islam maka dia dapat pahala dan pahalanya orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa dikurangi pahalanya sedikitpun dan barangsiapa memulai membuat contoh jelek, maka dia mendapat dosa ditambah dosanya orang-orang yang mengamalkan sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dosanya “ . ( H.R. Muslim dari Abi Amrin dan Jarir bin Abdilah).
Sebagai kaum yang beragama, kita harus merasa terjaring oleh aturan main sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist serta sumber hukum lain yang menjelaskan keduanya, dengan cara tidak menjadi pelaku, yang menyuruh melakukan, maupun yang membantu melakukan pornografi. Rosullullah bersabda : “penegakkan satu diantara hukum-hukum Allah SWT lebih baik daripada hujan turun empat puluh malam di negeri Allah Zat Maha Gagah Perkasa” (H.R. Ibnu Majah) dan di dalam Al-Qur’an hujan digambarkan sebagai simbol rizki dan keberekahan.

Dan tujuan hukum pidana pun akan tercapai . The criminal law seeks :
1. to enforce moral values
2. to punish those who deserve punishment
3. to protect the public from harm
4. to reform the offender
5. to datwer offenser and potential offenders
6. to educate people about appropriate conduct and behavior
7. to preserve order
8. to protect vulnerable from explotation and corruption

III. P E N U T U P
A. Kesimpulan
1. Pornografi pada hakekatnya adalah merupakan produk visulaisasi sex dengan cara yang a susila , tidak senonoh, jorok, melecehkan hukum dan martabat manusia, menabrak moral, dan ajaran agama serta adat istiadat dan tradisi, yang diciptakan dengan maksud sengaja membakar nafsu birahi seseorang sehingga merangsang syahwat seseorang serta dapat menimbulkan pikiran-pikiran kotor (purient interest) .
2. Di dalam KUH Pidana tidak dikenal istilah “pornografi “ hanya memperkenalkan istilah “kejahatan terhadap kesusilaan” dan juga “pelanggaran kesusilaan” Kejahatan kesusilaan pengaturannya terdapat dalam Pasal 281 sampai dengan Pasal 297. Bahwa dalam mengindikasikan larangan-larangan dilakukan perbuatan-perbuatan yang merusak kesusilaan dihadapan umum atau merusak kesusilaan dimuka orang lain, yang berarti KUHP juga melarang “pornografi” .
B. Saran
1. Alangkah baiknya kita sebagai orang beragama untuk menghentikan diri memperdebatkan apa yang disebut pornografi, yang dalam konteks Islam disebut aurat. Dan hal itu semuanya sudah jelas. Dan Allah SWT hanya memerintahkan kepada kita untuk bekerja sama dalam kebaikan dan melarang bekerja sama dalam keburukan. Wa-bilahi fi sabilil – haq.

Sumber bacaan :
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1978.
Antonius Cahyadi dan Doni Danardono (ed) , Sosiologi Hukum dalam Perubahan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009.
Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, Mizan , Bandung, 1991
Nicole; Criminal Law , Oxford University Pres, 2006.
Waluyadi, Kejahatan , Pengadilan dan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2009.

PENANGANAN DELIK PENCURIAN MILITER DALAM KAJIAN YURIDIS KUHPM dan KUHP

Oleh. Bambang Widiyantoro, SH.MH.MM

A. Abstraksi
Definisi tentang pencurian sebagaimana dalam KUHP Pasal 162 adalah : “Barangsiapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepuyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum …”
Ketentuan tindak pencurian yang dapat dilakukan anggota militer terhadap masyarakat sipil sebagaimana ketentuan pasal 142 ayat (1) angka 2 yang pada intinya menyebutkan : …. ketika melakukan pencurian menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diperolehnya karena hubungannya dengan angkatan perang itu.”
Penanganan masalah pencurian yang dilakukan oleh masyarakat sipil barangkali tidak menimbulkan banyak kendala dalam proses penanganannya, hal ini akan menjadi lain apabila tindak pencurian tersebut dilakukan oleh anggota militer terhadap barang-barang milik masyarakat sipil, hal ini sangat memerlukan kerjasama dari semua terutama pihak Polisi Militer dan Kepolisian dalam penyidikan perkara tersebut.

B. Pendahuluan
Bahwa pemenuhan kebutuhan manusia dalam kondisi yang sangat terdesak tidak dapat disangkal lagi dapat menyebabkan cara-cara pemenuhan yang terkadang harus dilakukan dengan cara melanggar aturan. Siapapun juga tidak masyarakat sipil dan masyarakat di kalangan anggota militer sebagaimana manusia pada umumnya yang senantiasa dipenuhi dengan rasa dan keinginan yang selalu berlebih terhadap pemenuhan kebutuhan hidup apabila karena sangat terdesak, adanya kemungkinanan yang terbuka dan sedikit diikuti dengan keberanian, akan melakukan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut, walaupun dengan melakukan pelanggaran hukum.
Tindak pidana yang sering diakitkan dengan pemenuhan kebutuhan hidup di masyarakat sekarang ini adalah delik pencurian, dimana pada banyak kasus yang dihadapi, alasan ekonomi dan terdesak dengan kebutuhan hidup yang ada menjadi sangat klasik setiap penanganan tindak pidana pencurian, baik itu yang dilakukan oleh masyarakat sipil maupun masyarakatan dikalangan militer.
Penanganan kasus tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh masyarakat sipil bagi aparat penyidik (kepolisian) barangkali tidak terlalu menghadapi permasalahan yang berarti apabila tindak tersebut apalagi jika tindak pencurian tersebut tidak diikuti dengan kondisi yang meberatkan terhadap tindak pidana pencurian seperti diikuti dengan penganiayaan atau pembunuhan. Akan tetapi permasalahannya akan menajdi berbeda apabila aparat penyidik (Kepolisian) harus melakukan penyidikan terhadap tindak pencurian atas barang-barang yang dimiliki oleh masyarakat yang dilakukan oleh aparat militer.
Bagaimanapun juga hukum harus ditegakkan, dan hukum tidak pernah memandang penegakkannya dengan memilah-milah masyarakat sebagai masyarakat sipil dan masyarakat militer. Oleh karenanya dibutuhkan kerjasama dari semua pihak baik dari aparat penyidik sipil (Kepolisian) maupun oditur militer, perpera dan ankum dalam menyeret anggota-anggota militer yang melakukan tindak pencurian terhadap barang-barang milik masyarakat sipil, sebagaimana yang banyak dilansir media sekarang ini adalah pencurian kendaraan bermotor yang terkadang “melibatkan” oknum anggota-anggota militer.
C. Permasalahan
1. Bagaimana pemahaman tindak pidana pencurian yang diatur dalam KUHPM dan KUHP di Indonesia ?
2. Bagaimana penanganan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh militer jika dikaitkan dengan ketentuan KUHPM dan KUHP ?
D. Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan metode diskriptif analisis dengan mengedepankan studi pustaka dan penganalisaan kitab KUHPM dan KUHP serta bahan literature lainnya dalam rangka pegumpulan datanya, khususnya yang berhubungan dengan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anggota militer.
E. Pembahasan
1. Pengertian pencurian menurut KUHPM dan KUHP
Sebelum memulai pembahasan tentang tindak pidana pencurian yang ada dalam ketentuan KUHPM dan KUHP, barangkali ada baiknya dikaji terlebih dahulu hubungan antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam system hukum pidana di Indonesia.
KUHP sebagai general rule ketentuan perundang-undangan pidana di Indonesia tentu saja tidak akan dapat memuat semua ketentuan-ketentuan tindak pidana yang ada dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, khususnya yang mengenai tindak pidana yang ada dalam kehidupan militer, oleh karenanya diperlukan adanya special rule yang mengatur tentang tindak-tindak pidana khusus yang belum atau tidak diatur dalam KUHP, akan tetapi sebagai general rule dari seluruh aturan-aturan yang ada dalam system hukum pidana, maka disyaratkan pula bahwa seluruh ketentuan yang ada dalam undang-undang pidana di luar KUHP harus tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan umum, khususnya yang ada dlam Buku I KUHP, sepanjang ketentuan tersebut tidak diatur lain dalam undang-undang pidana yang ada di luar KUHP.
Tentang bagaimana hubungan antara KUHPM dengan KUHP dalam system hukum pidana di Indonesia dapat dilihat dalam konteks bunyi Buku I, Bab IX pasal 103 KUHP yang menyebutkan bahwa semua ketentuan yang ada dalam Bab I sampai dengan Bab VIII KUHP juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya yakni undang-undang hukum pidana yang ada di luar KUHP diancam dengan pidana, kecuali perundang-undangan pidana yang ada di luar KUHP tersebut menentukan lain.
Sedangkan dalam ketentuan KUHPM khususnya dalam Buku I Bab Pendahuluan Pasal 1 dan Pasal yang menyebutkan bahwa dalam penerapan KUHPM juga berlaku ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP dan juga tindak pidana yang tidak tercantum dalam KUHPM yang dilakukan oleh anggota militer maka dapat diterapkan ketentuan dalam KUHP.
Dari beberapa ketentuan pasal tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa keterkaitan antara KUHPM dan KUHP adalah saling melengkapi dimana ketentuan khusus mengatur tentang delik militer diatur dalam KUHPM akan tetapi tidak dapat dipisahkan pelaksanannya dengan ketentuan dalam KUHP apabila dalam KHUPM tidak mengatur secara tersendiri.
Tindak pidana pencurian di dalam KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer) diatur dalam Buku II Tentang Kejahatan-Kejahatan Militer Bab VI Tentang Pencurian dan Penadahan sebagaimana diatur dalam Pasal 140 sampai dengan Pasal 144, sedangkan dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) diatur dalam Bab XXII Tentang Pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362 sampai dengan Pasal 367.
Definisi tentang pencurian sebagaimana dalam KUHP Pasal 162 yang menyebutkan : “Barangsiapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepuyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum …” inipun juga dijadikan dasar dalam pemahaman pencurian yang ada di Pasal 140 KUHPM yang menyebutkan : “Diancam dengan penjara maksimal tahun, barangsiapa melakukan pencurian dan dalam tindakan itu telah menyalahgunakan kesempatan…”. Lebih khusus lagi menyangkut tindak pencurian yang dapat dilakukan anggota militer terhadap masyarakat sipil ini sebagaimana ketentuan pasal 142 ayat (1) angka 2 yang pada intinya menyebutkan : …. ketika melakukan pencurian menyalah-gunakan kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diperolehnya karena hubungannya dengan angkatan perang itu.”
2. Penanganan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh militer jika dikaitkan dengan ketentuan KUHPM dan KUHP
Berkaitan dengan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh masyarakat sipil, maka proses penanganan hukumnya, khususnya yang berkaitan dengan penyidikan dapat dipergunakan ketentuan-ketentuan pasal-pasal tentang penyedikian yang dilakukan oleh aparat Kepolisian sebagimana ada di dalam KUHAP, sedangkan mengenai penanganan tindak pidana pencurian yang dilakukan anggota militer terhadap masyarakat sipil yang didasarkan atas tindak pidana Pasal 142 ayat (1) angka 2 KUHPM, maka dapat dilakukan dengan menggunakan pasal-pasal peradilan koneksitas sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 89 sampai dengan pasal 94 KUHAP
Ketentuan-ketentuan tentang peradilan koneksitas dalam KUHAP adalah sebagai berikut :
1. Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. (Kecuali menurut keputusan Menhankam dan Menkumdang harus diadili dalam lingkungan peradilan militer)
2. Penyidik perkara dilaksanakan oleh tim yang dibentuk dengan SK Menhankam dan Menkumdang, terdiri atas penyidik Kepolisian dan Polisi Militer serta Oditur sesuai kewenangan masing-masing.
3. Untuk menentukan peradilan maka yang akan digunakan didasarkan atas hasil penelitian tim yang dilakukan oleh jaksa dan oditur militer
4. Jika perkara akan diajukan ke pengadilan umum, maka Perwira Penyerah Perkara (Perpera) segera membuat SK penyerahan perkara kepada Oditur Militer untuk diserahkan kepada penuntut umum sebagai dasar pengajuan perkara pada Pengadilan Negeri yang berwenang.
5. Delik pencurian yang dimajukan dalam siding peradilan umum maka akan dipergunakan acara sebagaimana diatur dalam KUHAP (UU. No. 8 Tahun 1981), sedangkan jika diajukan dalam siding peradilan militer maka akan dipergunakan KUHAPM (UU No. 31 Tahun 1997)
F. Kesimpulan dan Penutup
1. Kesimpulan
a. Tindak pidana pencurian dalam KUHPM sebagaimana yang diatur Buku II Tentang Kejahatan-Kejahatan Militer Bab VI Tentang Pencurian dan Penadahan sebagaimana diatur dalam Pasal 140 sampai dengan Pasal 144, dan khususnya yang menyangkut pencurian yang dilakukan anggota militer terhadap masyarakat sipil sebagaimana ketentuan Pasal 142 ayat (1) angka 2 KUHPM. Dalam KUHP, delik pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362 sampai dengan Pasal 367
b. Penanganan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh militer apakah akan digunakan ketentuan KUHPM atau KUHP disesuaikan dengan hasil pengkajian atas penelitian tim yang dilakukan oleh jaksa dan oditur militer. Delik pencurian yang dimajukan dalam sidang peradilan umum maka akan dipergunakan acara siding sebagaimana diatur dalam KUHAP (UU. No. 8 Tahun 1981), sedangkan jika diajukan dalam sidang peradilan militer dipergunakan KUHAPM (UU No. 31 Tahun 1997)
2. Penutup
Untuk memberikan efek jera, kasus-kasus yang melibatkan anggota militer yang dilakukan teerhadap barang-barang milik sipil pada saat damai (bukan masa perang) disarankan diselesaikan melalui peradilan umum.
G. Daftar Pustaka
1. A. Wahab Daud, Hukum Militer. Pusbakum ABRI. Jakarta, 1999
2. M. Faisal Salam, Hukum Pidana Militer. CV. Mandar Maju. Bandung 2006.
3. R. Soesilo. KUHAP. Penjelasan Resmi dan Komentar. Politeia. Bogor, 1997.
4. Prof. Moeljatno. KUHP. PT. Bumi Aksara. Jakarta 2009.
5. B. Widiyantoro. Delik-Delik Pidana Khusus. Karawang, 2010
6. -------------- S.1934 No. 164 / UU No. 39/1947 tentang KUHPM
7. -------------- UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer