Jadwal UAS 2012-2013

Bagi Mahasiswa yang ingin mendownload Jadwal UAS Tahun Akademik 2012-2013 silahkan Klik Disini

Kamis, 26 April 2012

KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM MENJERAT PELAKU PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Oleh : R. Bagus Irawan S.Sos
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Hukum pidana pada hakekatnya adalah merupakan bagian integral untuk melindungi masyarakat (social defence) dan untuk mencapai kesejahteraan (social welfare). Dikatakan bahwa tujuan akhir dari kebijakan hukum pidana adalah memberikan perlindungan terhadap masyarakat yang salah satu caranya adalah dengan cara bagaimana pengaturan dan bentuk delik kesusilaan dalam KUHP dan UU Porrnografi yang dapat diharapkan dapat mencapai tujuan akhir dari kebijakan hukum pidana.
Pengaturan delik kesusilaan menurut KUHP pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan UU Pornografi hanya mengkaji ulang untuk merevisi dan lebih memfokuskan pada perbuatan cabul, hal ini karena semakin maraknya pelangaran “kesusilaan” sebagai akibat menjamurnya tampilan “porno” yang dapat menjadi pemicu terjadinya tindak pidana kesusilaan.
Berangkat dari sangat mungkinnya tampilan yang porno sebagai pemacu dan pemicu maraknya pelanggaran kesusilaan telah menjadi sebuah argumen dasar dan alasan pembenar bagi sementara pihak untuk menempatkan “pornografi” sebagai perbuatan pidana sehingga pelakunya dapat dipidana.
Di dalam KUHP tidak dikenal istilah “pornogarafi” KUHP hanya memperkenalkan istilah “Kejahatan terhadap kesusilaan” dan “pelanggaran kesusilaan” Kejahatan kesusilaan pengaturannya terdapat dalam pasal 283 sampai dengan Pasal 297.
Diketahui bahwa dalam mengindikasikan larangan-larangan dilakukannya perbuatan-perbuatan yang merusak kesusilaan di hadapan umum atau merusak kesusilaan di muka orang lain, yang berarti KUHP juga melarang “pornografi”
Sehubungan upaya kriminalisai pornografi, Barda Nawawi Arief mengutip hasil simposium pembaharuan Hukum Pidana Nasional Tahun 1980, hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Apakah perbuatan tersebut tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan dan dapat merugikan , mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban
2. Apakah biaya kriminalisasi seimbang dengan hasil yang akan dicapai. Artinya cost pembuatan undang-undang pengawasan dan penegakan hukum serta beban yang dipikul oleh korban, pelaku kejahatan itu sendiri seimbang dengan situasi tertib hukum yang dicapai.
3. apakah akan menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliki.
4. apakah perbuatan tersebut menghambat atau menghalang-halangi cita-cita bangsa sehingga berbahaya bagi keseluruhan masyarakat.
Asumsi yang dikedepankan setelah pemaparan diatas adalah bahwa tampilan-tampilan yang seronok , gambar-gambar yang mengeksploitasi aurat perempuan secara komersial, ucapan-ucapan yang berbau porno, tulisan-tulisan yang mengarah kepada seksualitas dan hal –hal lain yang merangsang dan dapat menjadi pemicu dan pemacu pikiran-pikiran yang bermuara pada sex, maka perbuatan tersebut dapat dipidana tanpa harus menggunakan Undang-Undang Pornografi karena undang-Undang tersebut selain masih penuh kontraversial juga terlampau buruk dan tidak masuk akal karena isi dari undang-undang itu potensial medeskriditkan tubuh dan seksualitas wanita dan menghapuskan pluralitas budaya Indonesia .

B. Identifikasi Masalah
Sehubungan dengan latar belakang pemilihan judul diatas, maka permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Apa yang sesungguhnya yang dimaksud dengan pornografi ?
2. Bagaimana menjerat pelaku pornografi dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ?

II PEMBAHASAN
A . Definisi Pornografi.
Istilah pornografi dikenal dalam bahasa Yunani yaitu “ponografos” yang berasal dari kata “porne” dan “grafhein” . Tjipta Lesmana , mengartikan kata “porne” sebagai prostitute atau pelacuran dan “grafhein” sebagai “to write” to draw ; grafhe yang sama dengan writing, drawing, sehingga oleh beliau pornographies disamakan dengan writing about prostitutes yang diartikan sebagai tulisan atau menggambarkan tentang pelacur atau pelacuran.
Menurut Dosen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia tersebut, definisi porno akan mencakup segala karya manusia baik berupa cerita, gambar, film , tarian maupun lagu, yang diciptakan dengan maksud sengaja membakar nafsu birahi orang lain, sehingga merangsang syahwat serta dapat menimbulkan pikiran-pikiran kotor (purient interest).
Abas Alibasah memberikan batasan, bahwa pornogarfi merupakan produk visulaisasi sex dengan cara yang a susila, cabul dan tidak senonoh, jorok, melecehkan hukum dan martabat manusia, menabrak moral, dan ajaran agama dengan mempertontonkan aurat serta adat istiadat dan tradisi.
UU Pornografi Pasal 1 ayat 1 , mendefinisikan bahwa pornografi adalah gambar , sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang menurut kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Walaupun pembatasan tentang pornografi sebagaimana yang disampaikan oleh Akademisi (Tjipta Lesmana) dan seorang seniman (Abas Alibasyah) serta menurut UU Pornografi Pasal 1 ayat 1 belum mewakili kelompok akademisi dan kelompok seniman negeri ini, akan tetapi setidaknya dapat memberikan suatu pemikiran seorang seniman dan akademisi tentang definisi pornografi.
Melalui batasan tersebut diatas , kita dapat mengetahui titik temu untuk menemukan unsur-unsur pornografi yang akan memberikan kontribusi yang positif untuk menjawab apakah yang dimaksud pornografi. Dan apakah pornografi dapat diposisikan sebagai tindak pidana atau tidak.
Berangkat dari definisi tersebut, maka unsur-unsur pornografi mencakup :
1. Setiap pelaku dan hasil pelaku manusia yang dapat merangsang atau membangkitkan gairah nafsu seksual
2. dengan sengaja mempertontonkan kepada pihak lain atau masyarakat umum
3. Sehingga orang lain atau masyarakat umum tersebut berpikiran ke arah seksual.
Dari ketiga unsur tersebut dijabarkan adalah sebagai berikut :
Petama, setiap pelaku yang dapat merangsang nafsu seksual baik itu ucapan, gerakan, tampilan (pakaian) mencakup hasil cipta manusia yang dapat didengar dan dilihat , sehingga orang yang melihat dan mendengarnya terangsang nafsu seksualnya.
Kedua, Sengaja dipertontonkan kepada seseorang atau kepada masyarakat umum, harus ditafsirkan langsung atau tidak langsung mencakup penggunaan media, sehingga apa yang disebut sesuatu yang merangsang seksual tersebut dapat dilihat.
Ketiga, Unsur sehingga orang lain berpikiran kearah seksual harus diartikan menurut keumuman dan kepatutan. Artinya apabila masyarakat menganggap bahwa sebuah tampilan menurut penilaian umum dianggap merangsang nafsu seksual.
B. Kebijakan Kriminal dalam Menjerat Pelaku Pornografi dalam perspektif KUH Pidana
Kenyataan bahwa pikiran kita tentang hukum masih didominasi pemikiran-pemikiran yang ada pada saat abad ke-19.(sekarang sudah abad ke 21) Artinya kita masih berlindung pada legalitas formil. Kita masih senang membaca teks-teks yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa mengungkap suasana bathin mengapa teks-teks tersebut dibuat dan apa yang menjadi tujuan akhirnya. Pemikiran yang demikian juga melanda para penggagas kriminalisasi pornografi..
Pernyataan yang sering mengemuka adalah bahwa pornografi tidak dapat dihukum, karena tidak disebutkan dalam KUHP, atau perkataan lain yang menyatakan “pornografi” dapat dihukum, tetapi hukumannya sangat ringan. Untuk pernyataan yang kedua, argumentasinya sama dengan pemahaman hukum pada abad ke-19, yaitu karena undang-undang telah menyebutkan demikian.
Di dalam KUHP tidak ditemukan istilah pornografi KUH Pidana hanya mengenal istilah tulisan yang diketahui akan isinya atau gambar atau barang yang dikenalnya, melanggar kesusilaan . Pembatasan tersebut, jelas akan mempersulit kita dalam membuat definisi tentang gambar, atau tulisan, atau barang yang dianggap bertentangan dengan kesusilaan.
Dalam penjelasan UU Pornografi pun tidak ada penjelasan lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan “kecabulan” dan eksploitasi seksual”. Tak jelas juga siapa yang berhak mendefinisikannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Ayat 1 UU Pornografi. Hal lain yang tidak jelas dalam Pasal 14 yang berisi “Pembuatan, penyebarluasan, dan pengunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai; seni budaya, adat istiadat dan ritual tradisional. Dengan kata lain, menurut Undang-Undang Pornografi ini pakaian adat orang Papua adalah pornografi , tetapi ditolelir , karena merupakan adat istiadat . Selain kedua pasal tersebut, ada pasal-pasal lain yang kontroversial , karena dianggap bisa menghancurkan kebhinekaan budaya Indonesia.
Pembatasan tersebut jelas akan mempersulit dalam membuat definisi tentang gambar atau tulisan, atau barang yang dianggap bertentangan dengan kesusilaan, sebab susila untuk seseorang dapat berarti a – susila untuk orang lain dan sebaliknya. Pengertian susila maupun a-susila akan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan yang setiap saat dapat berubah..
Menurut pasal 282 KUHP , perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai kejahatan kesusilaan dan diancam hukuman antara sembilan bulan sampai satu tahun. Empat bulan hukuman penjara dengan denda sebanyak-banyaknya empat puluh lima ribu rupiah adalah : (1) Barangsiapa yang menyiarkan , mempertunjukan atau menempelkan dengan terang-terangan tulisan, gambar atau barang yang melanggar kesusilaan (2) Barangsiapa yang membuat, memasukan kedalam negeri atau mengirim langsung keluar negeri, menyediakan untuk disiarkan, mempertunjukan , atau menempelkan dengan terang-terangan tulisan atau gambar yang melanggar kesusilaan (3) Barangsiapa dengan terang-terangan atau menyiarkan suatu tulisan atau gambar, atau barang yang melanggar kesusilaan yang kemudian menawarkan dengan tidak diminta atau menunjukan bahwa yang demikian itu boleh di dapat.
Pasal 533 KUHP , menegaskan bahwa perbuatan-perbuatan yang diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya dua bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ribu rupiah yang selanjutnya disebut pelanggaran adalah : (1) Barangsiapa yang dengan terang-terangan memperlihatkan tulisan atau gambar atau barang yang dengan terlihatnya itu membangkitkan birahi anak muda, dan perbuatannya itu dilakukan di lalu lintas umum; (2) Barangsiapa yang dengan terang-terangan membacakan isi buku yang isinya membangkitkan birahi kaum muda, yang perbuatannya dilakukan dalam lalu lintas umum; (3) Barangsiapa yang menawarkan buku, gambar, atau barang yang dapat membangkitkan birahi anak muda yang kemudian ia menyatakan bahwa barang-barang tersebut dapat dibeli padanya; (4) Barang siapa yang menawarkan , meminjamkan, memberikan, atau menyerahkan buku, tulisan, gambar atau barang yang melanggar kesusilaan kepada anak yang berumur tujuh belas tahun.
Apabila kita simak kedua pasal tersebut di atas, ternyata pembuat undang-undang hanya memfokuskan kepada medianya untuk bertanggungjawab terhadap adanya pornografi, sementara sipelaku pornografi, sipembuat buku yang kesemuanya ini bertentangan dengan kesusilaan sama sekali tidak disinggung.
Untuk menjerat pelaku pornografi bukan sesuatu yang mudah, akan tetapi bukan tidak bisa. Tidak mudah, oleh karena KUH Pidana tidak mengatur hal yang demikian, semantara pada saat yang sama KUH Pidana menganut asas legalitas formal. Artinya undang-undang harus ada terlebih dahulu sebelum perbuatan. Pelaku yang menyuruh melakukan, yang ikut serta melakukan , yang membantu melakukan dan yang membujuk untuk melakukan dapat dijerat dengan KUH Pidana yang berarti mengenyampingkan pemberlakuan legalitas formal. Pengesampingan sebuah asas hukum pidana dapat dibenarkan dengan pertimbangan keadilan dan kepentingan yang mendesak demi keselamatan generasi muda.
Dalam kaitan dengan ‘kesakralan” sebuah asas dalam hukum pidana , Loebby Luqman. Guru Besar Hukum Pidana, Universitas Indonesia (UI) menyatakan : sebuah asas dapat dilangar, tidak dapat dipakai atau dapat disimpangi, apabila asas tersebut diterapkan akan menimbulkan ketidakadilan. Termasuk dalam pengertian asas hukum pidana adalah asas legalitas formal. . Konsep KUHP Nasional mengamanatkan, apabila terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan hukum, maka aspek keadilan hukum harus didahulukan.
Pertimbangan yang kedua yang dijadikan argumen bahwa semua pihak yang terlibat dalam pornografi dalam segala bentuknya dapat dijerat hukuman. Justru apabila kita berpikir yang sebaliknya, yang berarti mengedepankan “ kepastian hukum “ dengan mengesampingkan aspek keadilan , merupakan bentuk ketidak adilan. Tujuan akhir pemberlakuan hukum adalah dalam rangka menjamin rasa keadilan yang berdasarkan atas hukum , dan bukan semata-mata demi kepastian hukum yang didasarkan pada teks undang-undang. (mendewakan legalitas pformal)
Apabila pornografi telah menjadi pemicu dan pemacu semua pihak untuk angkat bicara, dalam hubungan dengan akibat yang ditimbulkannya, maka setiap penyebab harus di nilai sebagai sumbangsih adanya akibat. Termasuk didalamnya pornografi, yang memungkinkan menjadi penyebab maraknya pelecehan seksual dengan segala dimensinya.
Dalam kaitannya dengan hubungan antara sebab dengan akibat , telah diperkenalkan dengan beberapa teori sebagai berikut :
1. Teori Conditio Sine Qua Non
Sebagaimana dikemukakan oleh Von Buri. Dalam teori ini disebutkan bahwa semua syarat dianggap sebagai penyebab adanya kejadian atau akibat.
2. Teori Adequate dari Von Kries
Menurut teori ini, bahwa syarat yang menimbulkan akibat harus dinilai berdasarkan keumuman. Artinya suatu syarat menurut kacamata umum dapat menimbulkan akibat, maka syarat itulah dapat dikatagorikan sebagai penyebab.
3. Teori Relevantie dari Megzer
Menurut teori ini bahwa diantara beberapa syarat yang dapat menyebabkan akibat, dicari yang paling relevan.
Berpedoman pada beberapa teori sebab akibat sebagaimana tersebut diatas , jelas meungkinkan para pelaku dan kroninya dalam hubungan dengan munculnya pornografi dapat dipidana dan oleh karena itu perbuatan-perbuatan mereka dapat ditafsirkan telang melanggar kesusilaan di muka umum, sebagaimana di atur dalam pasal 281 KUH Pidana . Disamping pasal 281 dan pasal 533 KUH Pidana dapat diterapkan kepada pelaku pornografi pengaturannya mengacu Pasal 55 KUH Pidana.
Hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan oleh pencari keadilan dengan alasan tidak ada undang-undang, maupun kurang jelas undang-undangnya . Pertimbangannya bahwa hakim sebagai organ keadilan dianggap memahami hukum. . Pencari keadilan datang kepadanya untuk mohon keadilan . Apabila tidak ada hukum tertulis , ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus perkara berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan yang Maha Esa, dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan negara.
Mengadili semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung tindak pidana pornografi tidak bertentangan dengan Pancasila, karena tindakan mereka telah tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan aparat hukum yang melakukan tugas ini berarti telah mengamalkan sekaligus mengamankan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
C. Kasus Ariel, Luna dan Cut Tari : Menyingkap Tabir kelemahan Hukum Produk Manusia.
Al-Qur`an menyebut perzinaan sebagai perbuatan keji dan jalan keluar yang paling jelek (Al-Isra `32) . Selain mendatangkan kemurkaan Allah, perzinaan dapat menyebabkan - secara lahir dan gaib – keruntuhan penjagaan Allah dan datangnya bencana. Nabi Muhammad saw bersabda : “ Wahai Ali, dalam perzinaan ada enam bencana, tiga di dunia dan tiga diakherat . Adapun yang di dunia ialah hilangnya kehormatan, cepatnya kebinasaan, dan terputusnya rezeki. Adapun diakherat ialah pemeriksaan yang berat, kemurkaan Allah, dan kekal di neraka.(Al-Bihar 77:8). Ketika Ja”far Al-Shadiq ditanya tentang alasan mengapa diharamkan zina, dia menjawab, “ kareana kerusakan yang ditimbulkannya - yakni hilangnya hubungan waris, terputusnya nasab karena perempuan tidak tahu yang menghamilinya , dan anak tidak tahu siapa bapaknya, siapa keluarganya dan siapa kerabatnya (Al-Bihar 103:368).
Secara ilmiah perzinaan ialah “ hubungan seksual diluar pernikahan” . Ada tiga macam perzinaan : Hubungan seksual premarital, hubungan seksual ekstramarital dan prostitusi. Hubungan seksual premarital adalah “ perzinaan yang dilakukan anak-anak muda sebelum pernikahan” pada masyarakat kita gejala ini sudah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Kebebasan bergaul dan pengaruh media pornografis telah mendorong para remaja untuk melakukan hubungan premarital.
Dewasa ini menunjukan adanya peningkatan jumlah “kecelakaan” yakni hamil sebelum menikah dan hampir dalam setiap kasus yang paling banyak menderita adalah perempuan. Kehamilan yang tidak direncanakan telah mengakibatkan kerusakan pada emosi, pendidikan, hubungan keluarga, keadaan ekonomi, kesehatan dan keturunan.. Dan tidak jarang abortus provocatus menjadi pilihan. “ Dan ketika bayi-bayi yang dibunuh itu ditanya, karena dosa apa mereka harus dibunuh “ (QS 81:8) .
Adapun Pengertian zina menurut KUHP Pasal 284 adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Menurut hukum dikatakan “persetubuhan “ adalah bahwa apabila kelamin pria telah masuk ke dalam lubang anggota kemaluan wanita demikian rupa, sehingga akhirnya mengeluarkan air mani. Di Indonesia perkawinan baru dianggap sah, apabila memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam Surat Edaran Menteri Agama tanggal 3 Maret 1960 N0. F/II/3123.
Konsekwensi hukum bagi pelaku perzinaan Pasal 284 dipidana penjara selama-lamanya sembilan bulan “ Laki-laki yang beristri yang berzina sedang diketahuinya, bahwa pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku baginya” Pasal ini merupakan delik aduan, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan. Selama perkara itu belum diperiksa di muka sidang pengadilan, maka pengaduan itu senantiasa masih dapat ditarik kembali dan tuntutan harus ditujukan kepada laki-laki dan perempuan yang melakukan zina itu tidak dapat kepada salah satu pihak saja. Filosofi yang mendasari pengaturan semacam itu tercermin dalam ungkapan “biarkan hukum berhenti didepan kamar tidur “ yang lebih mengutamakan kebebasan, menonjolkan hak-hak individu dan kurang memperhatikan moralitas.
Menurut KUH Pidana , seseorang yang melakukan hubungan kelamin atau persetubuhan diluar pernikahan atas dasar suka sama suka pada prinsipnya tidak dipidana, kecuali terbukti ada perzinahan (salah satu pihak sudah kawin). Yang dipidana menurut KUH Pidana hanya apabila persetubuhan diluar nikah tersebut dilakukan secara paksa (perkosaan), terhadap yang pingsan, tidak berdaya atau terhadap anak dibawah umum 15 tahun.
Berdasarkan ketentuan demikian, maka menurut KUHP tidaklah merupakan tindak pidana dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Dua orang belum kawin yang melakukan persetubuhan, walaupun perbuatan itu dipandang bertentangan dengan atau menganggu perasaan moral masyarakat,
2. Seorang yang telah beristri menghamili seorang gadis (berarti telah melakukan perzinahan) tetapi istrinya tidak membuat pengaduan untuk menuntut.
3. seseorang melakukan hidup bersama dengan orang lain sebagai suami istri diluar perkawinan, padahal perbuatan itu tercela dan bertentangan dengan atau menganggu perasaan kesusilaan/moral masyarakat.
Saat ini Bangsa Indonesia sedang dihebohkan dengan beredarnya Video mesum yang mirip dengan Ariel, Luna Maya dan Cut tari., bahwa pemberitaan video mesum tersebut telah menenggelamkan kasus-kasus penting yang harus diselesaikan secepatnya oleh pemerintah. Seperti kasus Bank Century, rekening Abnormal Gayus yang melahirkan mafia hukum yang melibatkan ketiga lembaga penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman) .
Terlepas euvoria pemberitaan Video mesum terhadap kasus diatas, kasus Ariel, Luna dan Cut Tari, terkandung hikmah yang sangat besar jika dilihat dari sudut pandang nilai religius. Hal ini memberikan sebuah pembelajaran bahwa betapa lemahnya hukum produk manusia. Undang-undang yang akan menjerat, baik Ariel , Luna maupun Cut tari masih diperdebatkan, mulai dari pasal 281 KUH Pidana tentang pelanggaran kesusilaan, Pasal 27 UU Internet dan Transaksi Elektronik, hingga Undang-Undang Pornografi Pasal 4 dan Pasal 29 dengan ancaman penjara 12 tahun. Ketiga Undang-undang diatas sangat tidak jelas untuk menjerat pelaku pornografi . Lebih cenderung menjerat kepada pengedar dan si pelaku diposisikan sebagai korban. Sangat naif. Secara logika akal , ada pengedar ada pelaku.
Sejak awal UU Pornografi sudah cacat. Alih-alih mengurusi pornografi tetapi justru mengurus moral, cara berpakaian dan lainnya. Area pornografi seharusnya area hukum pidana (kriminal) jangan dicampur adukan norma hukum dan moral . Padahal UU yang gagal dalam yudicial review ini seharusnya fokus kepada kenapa ketelanjangan situs terus terjadi, kenapa video porno mudah diakses. Dari sini semakin terlihat , bahwa Undang-Undang Pornografi tidak bisa menggempur pornografi yang penuh eksploitasi dan kekerasaan..
Hal lain yang juga penting untuk dikritisi dari Undang-Undang Pornografi adalah megkukuhkan diskriminasi terhadap perempuan. Karena menggunakan kerangka moralitas , perempuan yang hampir selalu dijadikan simbol moralitas masyarakatnya, lantas akan menjadi target utama pelaksanaan peraturan tersebut. Undang-Undang Pornografi juga berpotensi melahirkan kelompok masyarakat “ menjunjung moral “ yang tidak menyelesaikan persoalan pornografi. Namun justru menimbulkan polemik, bahkan kekerasan atas nama partisipasi masyarakat. Selain itu definisi pornografi juga multi tafsir. Akhirnya membuat penerapan UU Pornografi berpotensi menghilangkan hak warga negara atas kesamaan dihadapan hukum dan atas kepastian hukum.
Belajar dari kasus ini, seharusnya kita sadar bahwa betapa lemahnya manusia.. Apakah masih mau mempertahankan ego dan kesombongan , masih menganggap bahwa produk hukum kita adalah satu-satunya cara yang dapat mengatur tatanan kehidupan manusia yang penuh problematik dan dinamis seiring dengan perkembangan zaman.
Islam dengan tegas melarang seseorang untuk memperlihatkan auratnya kepada pihak lain, baik yang sejenis maupun lawan jenis tanpa hak. Misalnya laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Islam juga melarang bersentuhan kulit sesama jenis yang berada dalam satu kain (H.R. Akhmad , Muslim, Abu Daud dan Tarmizi) .
Pertanyaannya adalah bagian tubuh yang mana yang dianggap sebagai aurat ?. Empat mazhab telah sepakat bahwa selain telapak tangan dan muka , termasuk punggung tangan bagi setiap wanita adalah aurat. Pemberlakuan aurat bagi wanita tersebut, mencakup aurat pada saat shalat dan diluar shalat.
Perihal mengenai bahaya memperlihatkan aurat, telah disikapi secara preventif oleh Al-Qur”an , yaitu berupa suatu keharusan bagi setiap orang untuk memelihara pandangan dan kemaluan , serta keharusan untuk tidak menempatkan perhiasaan selain yang dibenarkan untuk ditampakan (Al-Qur’an , An-Nuur: 30,31).
Munculnya gambar aurat wanita melalui media masa, tentunya tidak mungkin berdiri sendiri. Artinya, apabila kita dapat melihat gambar aurat wanita di media, maka didalamnya telah terjadi kerja sama antara pelaku, yang menyuruh melakukan, yang ikut serta melakukan dan membantu melakukan.
Dengan atau tanpa alasan apapun, kerja sama untuk mewujudkan hal-hal yang tidak baik, merupakan bentuk penginjakan hukum-hukum Allah SWT. Allah SWT hanya memerintahkan untuk bekerja sama dalam kebaikan dan melarang bekerja sama dalam keburukan (Al-Qur”an, Al-Maidah : 2)
Sungguh memprihatinkan , apabila sang pelaku (pemeran) membuka aurat orang yang beragama, sementara ia sendiri tidak mengetahui bahwa apa yang diperbuatnya bertentangan dengan agama. Keperihatinan yang sama dapat saja dialamatkan kepada semua pihak yang mengaku beragama, sementara ia pun tetap bersusah payah mencari definisi pornografi, padahal agama telah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya
Kemudian alangkah baiknya apabila kita sebagai kaum beragama menghentikan diri untuk memperbincangkan apa yang di sebut pornografi , yang selanjutnya dalam konteks Islam disebut aurat. Karena kesemuanya itu telah jelas .
Kepada pelaku, yang menyuruh melakukan maupun yang membantu terwujudnya pornografi., harus menyadari bahwa akibat yang negatif dari apa yang telah diperbuat, jelas tidak langsung menimpa pada pelaku . Akan tetapi, apabila setiap saat kita terpaksa menyaksikan “pelecehan seksual” dengan segala dimensinya sesungguhnya ikut andil sebagai penyebab.
Menurut Agama Islam, “ Bahwa barangsiapa memulai membuat contoh yang baik di dalam Islam maka dia dapat pahala dan pahalanya orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa dikurangi pahalanya sedikitpun dan barangsiapa memulai membuat contoh jelek, maka dia mendapat dosa ditambah dosanya orang-orang yang mengamalkan sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dosanya “ . ( H.R. Muslim dari Abi Amrin dan Jarir bin Abdilah).
Sebagai kaum yang beragama, kita harus merasa terjaring oleh aturan main sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist serta sumber hukum lain yang menjelaskan keduanya, dengan cara tidak menjadi pelaku, yang menyuruh melakukan, maupun yang membantu melakukan pornografi. Rosullullah bersabda : “penegakkan satu diantara hukum-hukum Allah SWT lebih baik daripada hujan turun empat puluh malam di negeri Allah Zat Maha Gagah Perkasa” (H.R. Ibnu Majah) dan di dalam Al-Qur’an hujan digambarkan sebagai simbol rizki dan keberekahan.

Dan tujuan hukum pidana pun akan tercapai . The criminal law seeks :
1. to enforce moral values
2. to punish those who deserve punishment
3. to protect the public from harm
4. to reform the offender
5. to datwer offenser and potential offenders
6. to educate people about appropriate conduct and behavior
7. to preserve order
8. to protect vulnerable from explotation and corruption

III. P E N U T U P
A. Kesimpulan
1. Pornografi pada hakekatnya adalah merupakan produk visulaisasi sex dengan cara yang a susila , tidak senonoh, jorok, melecehkan hukum dan martabat manusia, menabrak moral, dan ajaran agama serta adat istiadat dan tradisi, yang diciptakan dengan maksud sengaja membakar nafsu birahi seseorang sehingga merangsang syahwat seseorang serta dapat menimbulkan pikiran-pikiran kotor (purient interest) .
2. Di dalam KUH Pidana tidak dikenal istilah “pornografi “ hanya memperkenalkan istilah “kejahatan terhadap kesusilaan” dan juga “pelanggaran kesusilaan” Kejahatan kesusilaan pengaturannya terdapat dalam Pasal 281 sampai dengan Pasal 297. Bahwa dalam mengindikasikan larangan-larangan dilakukan perbuatan-perbuatan yang merusak kesusilaan dihadapan umum atau merusak kesusilaan dimuka orang lain, yang berarti KUHP juga melarang “pornografi” .
B. Saran
1. Alangkah baiknya kita sebagai orang beragama untuk menghentikan diri memperdebatkan apa yang disebut pornografi, yang dalam konteks Islam disebut aurat. Dan hal itu semuanya sudah jelas. Dan Allah SWT hanya memerintahkan kepada kita untuk bekerja sama dalam kebaikan dan melarang bekerja sama dalam keburukan. Wa-bilahi fi sabilil – haq.

Sumber bacaan :
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1978.
Antonius Cahyadi dan Doni Danardono (ed) , Sosiologi Hukum dalam Perubahan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009.
Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, Mizan , Bandung, 1991
Nicole; Criminal Law , Oxford University Pres, 2006.
Waluyadi, Kejahatan , Pengadilan dan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2009.

1 komentar: